Adzan shalat Dhuhur berkumandang dari masjid di kantor Walikota Palopo, Sulawesi Selatan, siang itu. Hampir seluruh pegawai bergegas menuju masjid untuk menunaikan shalat. Sebagian pegawai pria lengkap dengan kopiahnya, sementara pegawai wanita lengkap dengan busana Muslimah.
Situasi di atas adalah pemandangan sehari-hari di kantor tersebut. Shalat berjamaah diharuskan bagi seluruh pegawai Muslim. Tak hanya itu, di kantor ini juga diwajibkan berjilbab bagi Muslimah, bisa mengaji, serta khuruj (keluar wilayah untuk berdakwah dengan waktu yang telah ditentukan). Semua itu tertuang dalam surat edaran Walikota Palopo dengan nomor 450/160/Kesra/IV/2009, perihal Peningkatan Shalat Berjamaah dan Kerjasama Dakwah dengan Jamaah Tabligh.
Tapi jangan salah, semua ini bukan paksaan. Semuanya berjalan dengan kesadaran setelah para pegawai mengikuti pesantren kilat yang diberi nama Bimbingan dan Latihan Mental Spiritual. Hasil kerjasama Pemda Palopo dan Jamaah Tabligh (JT).
Baso Sulaiman adalah orang di balik semua kegiatan ini. Lelaki yang kini menjabat sebagai Kabag Kesra Kota Palopo itu selalu melontarkan ide ini dalam setiap rapat di kalangan pejabat daerah. Beragam tanggapan miring selalu ia terima, bahkan usulan itu dianggap aneh dan mengada-ada. Tapi, Baso tak bergeming. “Padahal ini bukan kepentingan saya, ini untuk perbaikan mental pegawai,” ujarnya.
Menurut Baso, tak ada yang perlu dikhawatirkan jalinan kerjasama antara pemda dan JT. “Bagi saya, tabligh hanya salah satu metode dakwah, dan inilah cara saya untuk meningkatkan iman para pegawai,” ungkapnya singkat.
Ide untuk mengangkat program ini, bukan tanpa alasan. Saat menjabat sebagai Kepala Sub Bagian (Kasubag) Organisasi Kab. Luwu (2002), Baso nampak gerah melihat banyaknya pegawai negeri sipil (PNS) yang melanggar syariat, tidak shalat, dan memiliki akhlak buruk. “Banyak PNS bermental buruk; malas, tidak disiplin, tidak jujur, hingga ada yang main judi di kantor,” kenang suami dari Siti Maemunah ini.
Baso semakin risau, ketika melihat para pegawai yang sering datang terlambat, suka berbohong dan tidak disiplin. “Bagaimana bangsa bisa berkembang, kalau mental pegawai seperti ini,” tambahnya. Sementara menurut Baso, pelatihan jenjang kepangkatan yang ada saat ini, seperti pelatihan Pra Jabatan dan Latpim, hanya berada pada tataran pengembangan kognitif, intelektual semata.
Sebenarnya, Baso bukan orang pemerintahan. Sebelum menjabat sebagai Kasubag Organisasi di Luwu, yang sekarang menjadi Kota Palopo, Baso adalah seorang guru. Lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Palopo (1981) ini, awalnya mengajar sebagai tenaga honorer di SD Negeri Wawondula, Kab. Luwu.
Setahun menjadi guru honorer, barulah kemudian Baso diangkat menjadi PNS. Ia dipercaya mengajar di SMP Muhammadiyah Palopo. Berselang beberapa tahun kemudian, Baso diangkat menjadi Kepala Sekolah di sekolah tersebut. Lebih dari 20 tahun lamanya Baso mengajarkan nilai kejujuran, kedisiplinan, dan akhlakul karimah pada SMP Muhammadiyah itu.
Angin segar berhembus bagi Baso, saat otonomi daerah (2002) mulai berjalan. Ia dipindahkan ke Kantor Pemda Luwu. Di tempatnya yang baru ini, ia beri amanah sebagai Kasubag Organisasi. Begitu menjadi pejabat, Baso melihat banyak hal yang berbeda dari apa yang dulu ia ajarkan sebagai guru.
Dengan dasar itulah, Baso berpikir keras untuk mengubah mental buruk sebagian PNS yang digaji oleh negara ini. Dengan pengalaman sebagai guru, Baso juga ingin melihat nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan dan akhlak itu tertanam pada jiwa seluruh PNS di Palopo. Bagi alumni Magister Ilmu Administrasi pada STIA Yappan Jakarta (2006) ini, jika menginginkan masyarakat baik, maka harus dimulai dari pemerintah. “Kalau pemerintah imannya baik, masyarakat juga pasti akan baik,” ungkapnya singkat.
Khuruj sampai Bangladesh
Tahun 2003, secara diam-diam Baso mencoba untuk mengadakan training mental dan spiritual di kantornya, khusus untuk pegawai yang menjadi bawahannya. Saat itu, Baso telah menjabat sebagai Kepala Bagian Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kabag Kesbang Linmas). Dengan memanfaatkan beberapa orang PNS di bawahnya, ia kemudian berinisiatif melakukan ‘Pesantren Kilat’ sehari, materinya hanya seputar perbaikan mental pegawai.
Perlahan tapi pasti, ia terus bergerilya berdakwah di lingkup Pemda, agar semua PNS di Palopo berakhlak baik. Rencana progam ini semakin mantap, setelah Baso mengikuti khuruj tiga hari dengan JT (2005). Lulusan Universitas Cokroaminoto (1988) Palopo ini, kemudian tertarik dengan metode dakwah JT yang banyak mengajarkan seputar akidah dan akhlak.
Saat Suara Hidayatullah menjumpai Baso di kantornya, ia baru saja tiba dari ijtima (pertemuan tahunan) dunia di Serpong, Bogor, 18-20 Juli lalu. Ia aktif mengikuti khuruj tiga hari setiap bulan. Ia juga pernah mengadakan perjalanan khuruj 15 hari ke India, Pakistan dan Bangladesh (2007).
Pada 2006, Baso mengantongi izin Walikota Palopo, HPA. Tanriajeng untuk mengadakan training bimbingan mental spiritual. Maka jadilah sebuah pelatihan dan bimbingan mental spiritual yang dikemas dengan pesantren kilat selama tiga hari dengan 12 materi dari JT.
Hingga saat ini, dari sekitar 3.000-an PNS di Pemda Palopo, lebih dari 800 PNS yang telah mengikuti kegiatan tersebut. Untuk 2009 ini, kegiatan itu dibagi dalam dua angkatan, yang setiap angkatan berjumlah sekitar 100 orang.
Menariknya, sejak awal digulirkan hingga memasuki angkatan ke-4, kegiatan ini tidak menggunakan dana dari pemerintah atau dana APBD. Untuk mengikuti pelatihan tersebut, setiap pegawai dikenakan biaya Rp 50 ribu per hari. “Dana tersebut hanya utuk biaya akomodasi, konsumsi dan transport pemateri,” jelas Baso.
“Kami hanya memerlukan legitimasi dari Pemkot, tanda tangan Walikota bagi saya sudah cukup kuat untuk menjalankan kegiatan ini,” jelas ayah dari Muh. Abdi Baso, Munanjat, Adi Saputra, Ilmina, dan Hayyul Muttaqin ini.
Pelatihan tersebut, kini menjadi bagian program Pemda Palopo. Pelatihan ini wajib diikuti oleh setiap pegawai di semua jenjang. Sertifikat pelatihan ini pun menjadi salah satu syarat kenaikan pangkat atau jenjang bagi PNS di kota Palopo. Selain itu, para PNS pun harus pandai mengaji dan hapal surah-surah pendek dalam al-Qur`an.
Enam tahun kegiatan ini berjalan, baru tahun 2009 ini ia begitu merasakan manfaatnya. Saat ini, sudah sulit untuk menemukan pegawai yang bolos, datang terlambat, atau hanya sekedar datang ke kantor dan kemudian pulang. “Alhamdulillah, sekarang pegawai sudah mulai disiplin, jujur, dan taat sama atasan,” jelas Baso.
Situasi di atas adalah pemandangan sehari-hari di kantor tersebut. Shalat berjamaah diharuskan bagi seluruh pegawai Muslim. Tak hanya itu, di kantor ini juga diwajibkan berjilbab bagi Muslimah, bisa mengaji, serta khuruj (keluar wilayah untuk berdakwah dengan waktu yang telah ditentukan). Semua itu tertuang dalam surat edaran Walikota Palopo dengan nomor 450/160/Kesra/IV/2009, perihal Peningkatan Shalat Berjamaah dan Kerjasama Dakwah dengan Jamaah Tabligh.
Tapi jangan salah, semua ini bukan paksaan. Semuanya berjalan dengan kesadaran setelah para pegawai mengikuti pesantren kilat yang diberi nama Bimbingan dan Latihan Mental Spiritual. Hasil kerjasama Pemda Palopo dan Jamaah Tabligh (JT).
Baso Sulaiman adalah orang di balik semua kegiatan ini. Lelaki yang kini menjabat sebagai Kabag Kesra Kota Palopo itu selalu melontarkan ide ini dalam setiap rapat di kalangan pejabat daerah. Beragam tanggapan miring selalu ia terima, bahkan usulan itu dianggap aneh dan mengada-ada. Tapi, Baso tak bergeming. “Padahal ini bukan kepentingan saya, ini untuk perbaikan mental pegawai,” ujarnya.
Menurut Baso, tak ada yang perlu dikhawatirkan jalinan kerjasama antara pemda dan JT. “Bagi saya, tabligh hanya salah satu metode dakwah, dan inilah cara saya untuk meningkatkan iman para pegawai,” ungkapnya singkat.
Ide untuk mengangkat program ini, bukan tanpa alasan. Saat menjabat sebagai Kepala Sub Bagian (Kasubag) Organisasi Kab. Luwu (2002), Baso nampak gerah melihat banyaknya pegawai negeri sipil (PNS) yang melanggar syariat, tidak shalat, dan memiliki akhlak buruk. “Banyak PNS bermental buruk; malas, tidak disiplin, tidak jujur, hingga ada yang main judi di kantor,” kenang suami dari Siti Maemunah ini.
Baso semakin risau, ketika melihat para pegawai yang sering datang terlambat, suka berbohong dan tidak disiplin. “Bagaimana bangsa bisa berkembang, kalau mental pegawai seperti ini,” tambahnya. Sementara menurut Baso, pelatihan jenjang kepangkatan yang ada saat ini, seperti pelatihan Pra Jabatan dan Latpim, hanya berada pada tataran pengembangan kognitif, intelektual semata.
Sebenarnya, Baso bukan orang pemerintahan. Sebelum menjabat sebagai Kasubag Organisasi di Luwu, yang sekarang menjadi Kota Palopo, Baso adalah seorang guru. Lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Palopo (1981) ini, awalnya mengajar sebagai tenaga honorer di SD Negeri Wawondula, Kab. Luwu.
Setahun menjadi guru honorer, barulah kemudian Baso diangkat menjadi PNS. Ia dipercaya mengajar di SMP Muhammadiyah Palopo. Berselang beberapa tahun kemudian, Baso diangkat menjadi Kepala Sekolah di sekolah tersebut. Lebih dari 20 tahun lamanya Baso mengajarkan nilai kejujuran, kedisiplinan, dan akhlakul karimah pada SMP Muhammadiyah itu.
Angin segar berhembus bagi Baso, saat otonomi daerah (2002) mulai berjalan. Ia dipindahkan ke Kantor Pemda Luwu. Di tempatnya yang baru ini, ia beri amanah sebagai Kasubag Organisasi. Begitu menjadi pejabat, Baso melihat banyak hal yang berbeda dari apa yang dulu ia ajarkan sebagai guru.
Dengan dasar itulah, Baso berpikir keras untuk mengubah mental buruk sebagian PNS yang digaji oleh negara ini. Dengan pengalaman sebagai guru, Baso juga ingin melihat nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan dan akhlak itu tertanam pada jiwa seluruh PNS di Palopo. Bagi alumni Magister Ilmu Administrasi pada STIA Yappan Jakarta (2006) ini, jika menginginkan masyarakat baik, maka harus dimulai dari pemerintah. “Kalau pemerintah imannya baik, masyarakat juga pasti akan baik,” ungkapnya singkat.
Khuruj sampai Bangladesh
Tahun 2003, secara diam-diam Baso mencoba untuk mengadakan training mental dan spiritual di kantornya, khusus untuk pegawai yang menjadi bawahannya. Saat itu, Baso telah menjabat sebagai Kepala Bagian Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kabag Kesbang Linmas). Dengan memanfaatkan beberapa orang PNS di bawahnya, ia kemudian berinisiatif melakukan ‘Pesantren Kilat’ sehari, materinya hanya seputar perbaikan mental pegawai.
Perlahan tapi pasti, ia terus bergerilya berdakwah di lingkup Pemda, agar semua PNS di Palopo berakhlak baik. Rencana progam ini semakin mantap, setelah Baso mengikuti khuruj tiga hari dengan JT (2005). Lulusan Universitas Cokroaminoto (1988) Palopo ini, kemudian tertarik dengan metode dakwah JT yang banyak mengajarkan seputar akidah dan akhlak.
Saat Suara Hidayatullah menjumpai Baso di kantornya, ia baru saja tiba dari ijtima (pertemuan tahunan) dunia di Serpong, Bogor, 18-20 Juli lalu. Ia aktif mengikuti khuruj tiga hari setiap bulan. Ia juga pernah mengadakan perjalanan khuruj 15 hari ke India, Pakistan dan Bangladesh (2007).
Pada 2006, Baso mengantongi izin Walikota Palopo, HPA. Tanriajeng untuk mengadakan training bimbingan mental spiritual. Maka jadilah sebuah pelatihan dan bimbingan mental spiritual yang dikemas dengan pesantren kilat selama tiga hari dengan 12 materi dari JT.
Hingga saat ini, dari sekitar 3.000-an PNS di Pemda Palopo, lebih dari 800 PNS yang telah mengikuti kegiatan tersebut. Untuk 2009 ini, kegiatan itu dibagi dalam dua angkatan, yang setiap angkatan berjumlah sekitar 100 orang.
Menariknya, sejak awal digulirkan hingga memasuki angkatan ke-4, kegiatan ini tidak menggunakan dana dari pemerintah atau dana APBD. Untuk mengikuti pelatihan tersebut, setiap pegawai dikenakan biaya Rp 50 ribu per hari. “Dana tersebut hanya utuk biaya akomodasi, konsumsi dan transport pemateri,” jelas Baso.
“Kami hanya memerlukan legitimasi dari Pemkot, tanda tangan Walikota bagi saya sudah cukup kuat untuk menjalankan kegiatan ini,” jelas ayah dari Muh. Abdi Baso, Munanjat, Adi Saputra, Ilmina, dan Hayyul Muttaqin ini.
Pelatihan tersebut, kini menjadi bagian program Pemda Palopo. Pelatihan ini wajib diikuti oleh setiap pegawai di semua jenjang. Sertifikat pelatihan ini pun menjadi salah satu syarat kenaikan pangkat atau jenjang bagi PNS di kota Palopo. Selain itu, para PNS pun harus pandai mengaji dan hapal surah-surah pendek dalam al-Qur`an.
Enam tahun kegiatan ini berjalan, baru tahun 2009 ini ia begitu merasakan manfaatnya. Saat ini, sudah sulit untuk menemukan pegawai yang bolos, datang terlambat, atau hanya sekedar datang ke kantor dan kemudian pulang. “Alhamdulillah, sekarang pegawai sudah mulai disiplin, jujur, dan taat sama atasan,” jelas Baso.
Saat ini, mulai dari polisi pamong praja, sopir, guru, kepala bagian, hingga kepala dinas, serta asisten walikota wajib mengikuti kegiatan tersebut. Selanjutnya, setiap tiga hari dalam sebulan, mereka dihimbau untuk pergi khuruj ke masjid-masjid, guna mengajak masyarakat agar turut shalat berjamah di masjid.
Saat wawancara dengan Suara Hidayatullah, tiba-tiba Baso minta ijin. “Kita hentikan dulu wawancara, urusan shalat jamaah masih lebih penting,” katanya sambil menyambar peci di atas meja kerjanya. *Sarmadani/Suara Hidayatullah OKTOBER 2009
Sumber: http://majalah.hidayatullah.com/?p=610
Tidak ada komentar:
Posting Komentar